Berita
Headline
NTB
Opini
Pemprov NTB
iteNTB- Tragedi demi tragedi terus berulang di jalan raya Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat penggunaan mobil pikap untuk mengangkut manusia. Terbaru, kecelakaan maut terjadi di Gerung, Lombok Barat, Minggu (4/5/2025), menewaskan satu orang dan melukai puluhan lainnya.
Sebelumnya, pada hari Minggu 20 April 2025 yang lalu, sebuah mobil pikap yang mengangkut rombongan Nyongkolan mengalami kecelakaan di depan SMPN 5 Batukliang, Desa Barabali, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah.
Insiden ini mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan sepuluh lainnya dirawat intensif di rumah sakit.
Di berbagai wilayah NTB, baik di Pulau Lombok hingga Pulau Sumbawa, pikap yang seharusnya untuk barang justru menjadi "angkutan umum dadakan", terutama saat hajatan seperti nyongkolan, ziarah, atau acara adat. Akibatnya, nyawa melayang dan luka menjadi langganan.
Kita tidak bisa lagi menyikapi ini sebagai insiden biasa. Ini adalah krisis keselamatan jalan raya yang mengharuskan respons menyeluruh, sistematis, dan kolaboratif.
Pemerintah Harus Tegas dan Edukatif
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, nampaknya perlu mengeluarkan regulasi serta instruksi teknis yang melarang penggunaan kendaraan barang sebagai angkutan manusia.
Sanksi administratif hingga denda progresif harus diberlakukan terhadap pelanggaran. Namun, lebih dari sekadar penindakan, perlu pendekatan edukatif dan preventif.
Dinas Perhubungan, Satpol PP, hingga aparat desa perlu menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya menjelang musim hajatan. Pemerintah juga dapat memfasilitasi alternatif transportasi aman melalui kemitraan dengan jasa angkutan lokal, termasuk memberikan subsidi pada momen-momen tertentu.
Polisi Jangan Tunggu Korban
Pihak kepolisian harus hadir lebih awal, bahkan bisa langsung mulai dari tingkat desa yang dilakukan oleh Babinkamtibmas, sehingga bukan sekadar merespons setelah korban berjatuhan.
Razia kendaraan barang yang mengangkut manusia perlu digiatkan secara berkala, terutama pada akhir pekan atau musim acara adat. Penegakan hukum yang konsisten dan tegas akan membentuk efek jera dan budaya tertib.
Libatkan Tokoh Agama dan Budaya
NTB memiliki modal sosial yang kuat melalui tokoh agama, adat, dan organisasi kemasyarakatan. Melalui ceramah keagamaan, khutbah Jumat, hingga forum-forum budaya dan pengajian, kampanye keselamatan dapat ditanamkan sebagai bagian dari akhlak dan nilai luhur masyarakat. Perlu juga pembentukan relawan keselamatan jalan yang menyasar tingkat dusun dan desa.
Bangun Kesadaran Kolektif
Masalah ini bukan semata soal keterbatasan fasilitas, tapi soal cara berpikir. Selama masih ada anggapan "tidak apa-apa selama belum celaka", maka tragedi akan terus terjadi. Kita butuh gerakan perubahan pola pikir masyarakat: dari permisif menjadi preventif.
Saatnya kita membangun budaya patuh demi keselamatan bersama.
Pemerintah dengan kebijakan, aparat dengan ketegasan, tokoh masyarakat dengan pengaruhnya, dan warga dengan kesadarannya. Karena sejatinya, tidak ada pesta yang sebanding dengan kehilangan nyawa.
Opini - Stop Pakai Pikap untuk Angkut Manusia, Waktunya NTB Bertindak Tegas dan Mendidik
![]() |
Keterangan Foto: Dr. H. Ahsanul Khalik. |
iteNTB- Tragedi demi tragedi terus berulang di jalan raya Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat penggunaan mobil pikap untuk mengangkut manusia. Terbaru, kecelakaan maut terjadi di Gerung, Lombok Barat, Minggu (4/5/2025), menewaskan satu orang dan melukai puluhan lainnya.
Sebelumnya, pada hari Minggu 20 April 2025 yang lalu, sebuah mobil pikap yang mengangkut rombongan Nyongkolan mengalami kecelakaan di depan SMPN 5 Batukliang, Desa Barabali, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah.
Insiden ini mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan sepuluh lainnya dirawat intensif di rumah sakit.
Di berbagai wilayah NTB, baik di Pulau Lombok hingga Pulau Sumbawa, pikap yang seharusnya untuk barang justru menjadi "angkutan umum dadakan", terutama saat hajatan seperti nyongkolan, ziarah, atau acara adat. Akibatnya, nyawa melayang dan luka menjadi langganan.
Kita tidak bisa lagi menyikapi ini sebagai insiden biasa. Ini adalah krisis keselamatan jalan raya yang mengharuskan respons menyeluruh, sistematis, dan kolaboratif.
Pemerintah Harus Tegas dan Edukatif
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, nampaknya perlu mengeluarkan regulasi serta instruksi teknis yang melarang penggunaan kendaraan barang sebagai angkutan manusia.
Sanksi administratif hingga denda progresif harus diberlakukan terhadap pelanggaran. Namun, lebih dari sekadar penindakan, perlu pendekatan edukatif dan preventif.
Dinas Perhubungan, Satpol PP, hingga aparat desa perlu menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya menjelang musim hajatan. Pemerintah juga dapat memfasilitasi alternatif transportasi aman melalui kemitraan dengan jasa angkutan lokal, termasuk memberikan subsidi pada momen-momen tertentu.
Polisi Jangan Tunggu Korban
Pihak kepolisian harus hadir lebih awal, bahkan bisa langsung mulai dari tingkat desa yang dilakukan oleh Babinkamtibmas, sehingga bukan sekadar merespons setelah korban berjatuhan.
Razia kendaraan barang yang mengangkut manusia perlu digiatkan secara berkala, terutama pada akhir pekan atau musim acara adat. Penegakan hukum yang konsisten dan tegas akan membentuk efek jera dan budaya tertib.
Libatkan Tokoh Agama dan Budaya
NTB memiliki modal sosial yang kuat melalui tokoh agama, adat, dan organisasi kemasyarakatan. Melalui ceramah keagamaan, khutbah Jumat, hingga forum-forum budaya dan pengajian, kampanye keselamatan dapat ditanamkan sebagai bagian dari akhlak dan nilai luhur masyarakat. Perlu juga pembentukan relawan keselamatan jalan yang menyasar tingkat dusun dan desa.
Bangun Kesadaran Kolektif
Masalah ini bukan semata soal keterbatasan fasilitas, tapi soal cara berpikir. Selama masih ada anggapan "tidak apa-apa selama belum celaka", maka tragedi akan terus terjadi. Kita butuh gerakan perubahan pola pikir masyarakat: dari permisif menjadi preventif.
Saatnya kita membangun budaya patuh demi keselamatan bersama.
Pemerintah dengan kebijakan, aparat dengan ketegasan, tokoh masyarakat dengan pengaruhnya, dan warga dengan kesadarannya. Karena sejatinya, tidak ada pesta yang sebanding dengan kehilangan nyawa.
Penulis adalah Staf Ahli Gubernur Provinsi NTB Bidang Sosial
Posting Komentar