Teluk Ekas dan Ombak Kepentingan, Menyikapi Dengan Bijak Sikap Bupati Lotim Menjadi Jalan Merajut Solusi Bersama
![]() |
Keterangan Foto: Dr. H. Ahsanul Khalik. |
iteNTB- Sebagai warga NTB, yang lahir dan besar di Lombok Timur, yang menikmati kehidupan dari rumah beaar bersama yang bernama Nusa Tenggara Barat, mendorong saya untuk menulis terkait viralnya video Bupati Lombok Timur, H. Khairul Warisin, yang menegur surf guide dan wisatawan di kawasan Teluk Ekas, Kecamatan Jerowaru, pada 17 Juni 2025, telah menimbulkan riak gelombang di tengah masyarakat dan pelaku wisata. Banyak yang menilai tindakan tersebut terlalu keras, bahkan dinilai berpotensi merusak iklim pariwisata dan menimbulkan konflik antar pelaku usaha dari Lombok Timur dan Lombok Tengah.
Namun, insiden ini jangan dilihat semata dari potongan rekaman. Di balik teguran keras itu, ada keresahan mendalam yang dirasakan pelaku wisata lokal Ekas, bahwa mereka merasa termarjinalkan di tanah sendiri. Wisatawan datang berombong-rombongan, namun tidak menginap, tidak makan di warung setempat, tidak menggunakan jasa warga lokal. Yang menikmati justru orang luar. Maka wajar bila ada suara “Ekas ini milik siapa?”
Sebelum kita larut dalam kecaman, penting untuk mengkaji insiden ini secara jernih dan bijak. Di balik nada suara yang tinggi dalam video itu, tersimpan rasa tanggung jawab dan kecintaan Bupati terhadap masyarakatnya sendiri. Ia menampung keluhan pelaku wisata lokal yang merasa kehilangan kesempatan karena dominasi pemandu wisata dari luar daerah. Ini adalah bentuk keberpihakan seorang pemimpin yang ingin memastikan bahwa potensi wisata lokal tidak hanya menjadi tontonan bagi masyarakat, tapi juga menjadi sumber penghidupan yang nyata.
Sikap Bupati bisa saja dinilai emosional dan tidak ideal dari sisi komunikasi publik. Tapi harus diakui, ini adalah refleksi dari kepedulian seorang kepala daerah atas warganya. Ia menyuarakan keresahan yang tidak terdengar bahwa ada sistem pariwisata kita belum adil.
Dari perspektif etika pemerintahan, memang benar bahwa cara penyampaian di hadapan publik, apalagi wisatawan asing, seharusnya dilakukan secara persuasif dan penuh kesantunan. Sikap emosional, meski didasari niat baik, bisa menimbulkan persepsi buruk dan mencederai citra daerah. Komunikasi publik seorang pejabat harus selalu mencerminkan kebesaran hati, empati, dan kontrol diri. Tapi penulis yakin Bupati Lombok Timur memahami sisi etika pemerintahan ini dengan baik, namun pak Bupati juga menyadari kewajiban nya bagi warga masyarakat Lombok Timur yang ada di Ekas.
Memang benar, secara hukum, laut dan pantai adalah ruang publik yang tidak dapat dibatasi aksesnya hanya karena pertimbangan administratif daerah. Undang-undang dan peraturan sektor kelautan menyebut bahwa ruang laut merupakan kewenangan negara, bukan eksklusif pemerintah kabupaten. Demikian pula wisatawan, baik asing maupun domestik, memiliki hak untuk mengakses lokasi-lokasi wisata selama tidak melanggar hukum atau merusak lingkungan.
Namun demikian, keluhan pelaku wisata lokal harus didengar. Ketika masyarakat Ekas hanya menjadi penonton di kampung sendiri, dan tidak mendapatkan limpahan manfaat ekonomi dari ramainya wisata surfing, itu adalah tanda bahwa sistem tata kelola pariwisata kita masih ada yang timpang dan belum inklusif.
Insiden ini seharusnya menjadi momentum introspeksi kolektif, bukan ajang saling serang. Tidak elok jika karena satu video kita menyimpulkan bahwa seorang pemimpin harus dicopot. Yang diperlukan adalah dialog, bukan perpecahan.
Daripada saling menyalahkan, insiden ini harus jadi pintu masuk menuju pembenahan. Jika tidak segera ditangani, ketegangan ini bisa menjalar jadi konflik horizontal antar daerah, dan itu tentunya hal yang jelas tidak kita inginkan.
Lalu Apa Solusinya? Sebagai upaya membangun tata kelola pariwisata yang adil, berikut beberapa langkah konkret yang bisa dijadikan pegangan bersama:
1. Membentuk Forum Kerja Sama Antar Kabupaten (Lotim-Loteng), sebagai sebuah forum tetap antara Dinas Pariwisata Lombok Timur dan Lombok Tengah, dengan melibatkan pelaku usaha, tokoh masyarakat, dan akademisi untuk menyusun pedoman kerja bersama.
2. Sepakati Zonasi Aktivitas Wisata Surfing Secara Adil. Kawasan Ekas bisa dibagi dalam beberapa zona yang bisa saja secara bergiliran dikelola oleh pelaku lokal dan luar daerah. Ini bentuk kompromi untuk menciptakan ruang bermain yang adil bagi semua.
3. Bangun skema Mitra Usaha (Joint Operation), di mana surf guide dari Lombok Tengah bisa diwajibkan bermitra dengan pelaku lokal dari Lotim sebagai syarat operasional. Dengan ini, wisatawan tetap datang, tetapi manfaatnya tetap beredar di lokal.
4. Peningkatan Kualitas SDM Lokal, Pemerintah Kabupaten Lotim perlu lebih serius menyiapkan SDM pariwisata (guide, instruktur, pengelola) yang kompetitif dan profesional, agar mampu bersaing dengan pelaku dari luar.
5. Lahirkan peraturan bersama atau MoU untuk keadilan wisata, yang menjamin prinsip keadilan distribusi manfaat pariwisata, bukan pembatasan akses wisatawan.
Pariwisata tidak boleh dibangun di atas konflik, kecurigaan, dan pembatasan. Ia hanya akan tumbuh subur dalam iklim keterbukaan, keadilan, dan kerja sama. Sikap Bupati Lotim, meski perlu dibenahi dalam penyampaiannya, adalah namun itu juga nerupakan cermin dari tanggung jawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Mari kita jaga energi keberpihakan itu, dan arahkan menjadi energi kolaborasi, bukan eksklusivitas.
Semua pihak perlu menahan diri. Jangan sampai satu kejadian merusak semangat besar kita membangun NTB sebagai destinasi unggulan dunia. Bupati Lotim pasti faham, bahwa ke depan nya perlu menjaga komunikasi publiknya agar tidak kontraproduktif, akan tetapi pelaku wisata dari luar daerah harus menghormati dan melibatkan pula masyarakat lokal, bukan kah menikmati keindahan dan gulungan ombak Ekas juga harus dilakukan dengan menjaga kebersamaan sebagai bagian dari keindahan itu sendiri.
Ekas adalah milik bersama. Ombaknya jangan jadi alasan untuk memecah kita, tapi semestinya jadi kekuatan untuk merangkul semua. Saatnya duduk bersama, membangun sistem yang adil, dan menjadikan NTB rumah wisatawan dunia, yang tetap berpihak pada masyarakatnya sendiri, karena pariwisata hanya akan kuat jika dibangun dalam semangat kolaborasi, bukan kompetisi sempit antar wilayah.
Oleh : Dr H. Ahsanul Khalik
Penulis adalah Staf Ahli Gubernur NTB.
Posting Komentar